Prinsip-Prinsip Akuntansi Syari’ah yang Harus Dipahami oleh Akuntan

Syari’ah sebagai referensi etik dan moral menjadi sangat relevan dijadikan sebagai tolok ukur dalam kehidupan manusia referensi ini dimaksudkan agar menusia dapat menjalani kehidupan dengan keteraturan dalam koridor-koridor syari’ah, baik dalam hubungannya kepada Sang Pencipta Allah swt, maupun hubungan sesama manusia. Tujuan syari’ah adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, perlindungan kehidupan, perlindungan akal, perlindungan keturunan, dan perlindungan harta benda, hal-hal yang mendukung untuk merealisasikan lima hal yang harus dilindungi ini adalah tergolong perbuatan yang maslahah bagi manusia dan dikehendaki.

Maqashid al-syari’ah meliputi tiga bagian penting, yaitu: dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Pengertian dharuriyat adalah hal-hal yang mesti ada dalam menegakkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Hal-hal yang bersifat dharuriyat itu terdiri dari:

1. Hifz al-din (menjaga agama), sebagai salah satu ciri yang membedakan manusia dengan binatang untuk dijaga dan diselamatkan dari hal-hal yang merusaknya, bahkan syari’ah menghendaki agar manusia memelihara agama.
2. Hifz al-nafs (menjaga hak hidup dan menjaga diri), dapat diartikan sebagai upaya melindungi diri dari rongrongan dari luar, syari’ah mengajarkan bahwa menjaga diri tersebut sama halnya dengan menjaga kehormatan manusia itu sendiri.
3. Hifz al-’aql (menjaga akal) menjaga atau melindungi akal dari malapetaka yang menyebabkan manusia menjadi beban masyarakat karena kelemahan akalnya, menjadi sumber kehinaan dari sudut pandang manusia.
4. Hifz al-nasl, setiap pranata sosial yang diciptakan oleh Allah swt. memberikan indikasi bahwa manusia diarahkan untuk senantiasa menjaga keturunannya dari hal-hal yang mengotorinya seperti ketidakjelasan status anak, istri, suami, dan lain-lain.
5. Hifz al-mal (menjaga harta), Allah swt. melarang manusia menghambur-hamburkan harta secara sia-sia serta dilarang pula mengambil harta dengan cara yang tidak legal (bathil), demikian pula Allah mengatur tentang transaksi yang bermaterikan harta (mal), hal ini dimaksudkan sebagai perlindungan manusia agar terjauhi dari kemiskinan dan bahaya kekuarangan harta.

Dari lima tujuan yang dirumuskan di atas, dikaji lebih dalam dari sisi filosofisnyabasis dari syari’ah adalah hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan yang dimaksud adalah terwujudnya keadilan sempurna, rahmat, kesejahteraan, dan hikmah, hal yang menjadi kontra dari basis ini, dianggap diluar (tak berkait) dengan syari’ah.

Prinsip-prinsip syari’ah bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, dan Fiqh, sumber-sumber tersebut digunakan secara runut (hirarkis) tidak boleh mendahului satu terhadap lainnya, hal ini dimaksudkan agar kehadiran Tuhan dalam setiap sisi kehidupan manusia adalah suatu prioritas. Aspek lainnya seperti aspek moral ditopang oleh nilai ketuhanan (tauhid), iman, dan konsep-konsep kemaslahatan lainnya yang berhubungan dengan konsep, kebenaran, ketakwaan, ibadah, kewajiban, dan ikhtiyar, hal ini hanya akan dapat diimplementasikan dengan baik apabila didasari oleh iman .

Prinsip ini berdasarkan pada konsep harta dalam pandangan syari’ah, syari’ah selalu merujuk pada Al-Qur’an, dalam hal ini Al-Qur’an menegaskan pada hakekatnya harta bukanlah milik manusia atau entitas bisnis, tetapi harta adalah milik Allah swt. Sehingga dalam memperlakukan harta yang berada pada kekuasaan manusia tidak boleh semena-mena karena pada hakikatnya harta tersebut bukan mutlak milik manusia, beberapa petunjuk Allah dalam Al-Qur’an tentang pengelolaan harta :

Sesungguhnya milik Allah lah apa yang ada di langit dan di bumi… (QS, 10:55) Dan jika kamu menghitung nikmat Allah tidaklah dapat kamu menghitungnya (QS, 14:34) Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya (QS, 16:18) Harta adalah milik Allah, dan berilah kepada mereka yang membutuhkan harta yang diberikan-Nya kepadamu (QS, 24:33) Dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan (QS, 53:48).

Dari segi keberadaannya, harta kekayaan yang ada dimuka bumi sebenarnya terdapat dalam kehidupan ini secara sunnatullah (alamiah), dimana Allah swt. telah menciptakannya untuk kepentingan manusia, beberapa pernyataan Allah yang mendukung pernyataan ini, adalah:

Dialah yang menciptakan untuk kalian semua, apa saja yang ada di bumi (QS, 2:29).
Allah lah yang menundukkanuntuk kalian lautan, agar bahtera bisa berjalan di atasnya dengan kehendak-Nya, juga agar kalian bisa mengambil kebaikan (QS, 45:12).
Dan (Dialah) yang menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi (QS, 45:13).
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya, kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu (QS, 80:24-32).
Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu. Guna memelihara kamu dalam peperanganmu (QS, 21:80) Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu) (QS, 57:25).

Berlandaskan dari beberapa pernyataan Allah dalam Al-Qur’an tersebut di atas para ahli ekonomi Islam (syari’ah) mencoba merumuskan prinsip-prinsip ekonomi Syari’ah, Prinsip dasar yang harus dimiliki dalam sistem ekonomi syari’ah yaitu: 1) Tauhid Illahiyyah, tetap memperlakukan harta sebagai titipan dari Allah, karena manusia bukanlah pemilik mutlak dari harta yang ada di dunia ini, 2) kemakmuran dunia akhirat, dalam melakukan aktivitas ekonomi tidak hanya ingin memperoleh keuntungan duniawiyah semata tetapi juga memperhatikan keuntungan ukhrawiyah, 3) dimensi material dan moral, 4) kemakmuran untuk semua (rahmat li al-’alamin) yang bersifat jangka panjang dan sustained, 5) dapat diterapkan, konsep ekonomi yang disusun secara syari’ah bukan saja memenuhi idealis syari’ah semata tetapi harus dapat diapplikasikan dalam praktek bisnis secara nyata, 6) kebahagiaan abadi dan hakiki, syari’ah mempercayai bahwa adanya suatu kehidupan abadi dan hakiki yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan manusia, 7) harus diciptakan lingkungan yang amanah (trust), untuk mewujudkan hal ini diperlukan sistem yang terkontrol dan terkendali sehingga dapat menjunjung amanah.

Dasar filosifis dari sistem ekonomi Islam adalah meliputi: 1) Tawhid, 2) Rububiyyah, 3) Khilafah, 3) Tazkiyah, dan 4) Mas’uliyah. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam selalu mengedepankan Tuhan sebagai rujukan tertinggi dan segala pertimbangan harus selalu dikembalikan kepada aspek Illahiyyah, selanjutnya kemaslahatan yang juga aspek terpenting dari ekonomi Islam.

Berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah masalah akuntansi akan berkait pula dengan prinsip-prinsip syari’ah, karena syari’ah mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik ekonomi, politik, sosial dan falsafah moral. Dengan demikian syari’ah berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia termasuk di dalam hal akuntansi.

Syarat sebagai dasar-dasar akuntansi syari’ah, sebagai berikut: 1) benar (truth) dan sah (valid), 2) adil (justice), yang berarti menempatkan sesuatu sesuai dengan peruntu-kannya, diterapkan terhadap semua situasi dan tidak bias, harus dapat memenuhi kebutuhan minimum yang harus dimiliki oleh seseorang, 3) kebaikan (benevolence/ihsan), harus dapat melakukan hal-hal yang lebih baik dari standar dan kebiasaan. Sebenarnya prinsip-prinsip akuntansi konvensional telah memasukkan aspek-aspek seperti yang diutarakan di atas hanya saja prinsip conservatism yang selalu membela kepentingan pemilik modal menjadi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip akuntansi syari’ah.

Prinsip-prinsip akuntansi syari’ah dengan membagi dua bagian: 1) berdasarkan pengukuran dan penyingkapan, dan 2) berdasarkan pemegang kuasa dan pelaksana. Prinsip akuntansi syari’ah berdasarkan pengukuran dan penyingkapannya terdiri dari, 1) Zakat: penilaian bagian-bagian yang dizakati diukur secara tepat, dibayarkan kepada mustahik sesuai yang dikehendaki oleh Al-Qur’an (delapan asnaf) atau zakat dapat pula disalurkan melalui lembaga zakat yang resmi. 2) Bebas bunga: Entitas harus menghindari adanya bunga dalam pembebanan-pembebanan dari transaksi yang dilakukan, menghindari hal ini akan lebih tepat bila entitas berbentuk bagi hasil atau bentuk lain yang sifatnya tidak memakai instrumen bunga. 3) Halal: menghindari bentuk bisnis yang berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan oleh syari’ah, seperti perjudian, alkohol, prostitusi, atau produk yang haram lainnya.

Menghindari transaksi yang bersifat spekulatif, seperti bai’ al-gharar; munabadh dan najash. Prinsip akuntansi syari’ah berdasarkan pemegang kuasa dan pelaksana terdiri dari: 1) Ketaqwaan: mengakui bahwa Allah adalah penguasa tertinggi. Allah melihat setiap gerak yang akan diperhitungkan pada hari pembalasan. Dapat membedakan yang benar (al-haq) dan yang salah (al-bathil). Mendapatkan bimbingan dari Allah dalam pengambilan keputusan. Mencari ridha dan barakah Allah dalam menjalankan aktivitas. 2) Kebenaran: visi keberhasilan dan kegagalan yang meluas ke dunia mencapai maslahah. Menjaga dan memperbaiki hubungan baik dengan Allah (hablun min Allah) dan menjaga hubungan dengan sesama manusia (hablun min al-nas). 3) Pertanggungjawaban: Pertanggungjawatan tertinggi adalah kepada Allah, berlaku amanah. Mengakui kerja adalah ibadah yang selalu dikaitkan dengan norma dan nilai “syari’ah”. Merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Berbuat adil kepada sesama ciptaan Allah, bukan hanya kepada manusia.

Kaidah akuntansi yang terpenting berdasarkan hasil istimbath dari sumber-sumber hukum Islam (syari’ah), adalah sebagai berikut: (1) Independensi jaminan keuangan. Perusahaan hendaklah mempunyai sifat yang jelas dan terpisah dari pemilik perusahaan. (2) Kesinambungan aktivitas.

Kaidah ini memandang bahwa aktivitas suatu perusahaan itu mesti berkesinambungan (terus beraktivitas) (Bekerja untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup selamanya …).
(3) Hauliyah (pentahunan/penetapan periode). Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an (9:36) “sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan …” jadi periode akuntansi syari’ah lebih tepat memakai putaran tahun, karena hal tersebut juga berhubungan dengan nisab zakat yang menggunakan bilangan tahun. (4) Pembukuan langsung dan lengkap secara detail. Kaidah ini menghendaki pembukuan secara rinci dalam mencatat transaksi, dimulai dari tanggal, bulan, tahun, dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan, hal ini didasarkan perintah dalam Al-Qur’an (2:282) “uktubuhu” perintah mencatat kemudian “ila ajalin musamma” menunjukkan suatu tanggal kejadian tertentu. (5) Pembukuan disertai dengan penjelasan atau penyaksian obyek. Kaidah ini menghendaki pembukuan semua aktivitas ekonomi keuangan berdasarkan dokumen-dokumen yang mencakup segala bentuk dan isi secara keseluruhan. Dalam fikih Islam, bentuk ini disesbut pencatatan dengan kesaksian. (6) Pertambahan laba dalam produksi, serta keberadaannya dalam perdagangan. Dalam fikih islam, laba dianggap sebagai perkembangan pada harta pokok yang terjadi dalam masa haul (periode akuntansi), baik setelah harta itu diubah dari barang menjadi uang meupun belum berubah. Kaidah inilah yang dipakai dalam menghitung zakat mal. (7) Penilaian uang berdasarkan emas dan perak. Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa emas dan perak adalah sebagai wadah sentral dalam penetapan harga (QS, 3:75; 9:34; 12:20) (8) Prinsip penilaian harga berdasarkan nilai tukar yang sedang berlaku. Implementasi kaidah ini untuk memelihara keselamatan dan keutuhan modal pokok untuk perusahaan dari segi tingginya volume proses penukaran barang dan kemampuan barang itu untuk berkembang dan menghasilkan laba. (9) Prinsip perbandingan dalam menentukan laba. Prinsip ini ditujukan untuk menghitung dan mengukur laba atau rugi pada perusahaan mudharabah yang kontinyu, serta menentukan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya yang menghendaki perbandingan antara beban-beban dan uang masuk selama periode tertentu, dan (10) Prinsip muwa’amah (keserasian) antara pernyataan dan kemaslahatan. Catatan akuntansi harus menjelaskan keterangan-keterangan yang telah dipublikasikan secara wajar, yaitu sesuai dengan kesanggupan dan situasi serta metode yang digunakan yang dapat melindungi kemaslahatan serta tidak menimbulkan kemudharatan.

Prinsip-prinsip akuntansi syari’ah di atas menjadi tuntutan yang sangat urgen untuk diketahui oleh akuntan, terlebih bagi akuntan yang mengaudit lembaga-lembaga keuangan syari’ah, karena bila akuntan belum atau tidak memahami prinsip-prinsip akuntansi syari’ah opininya yang berkait dengan praktik lembaga-lembaga ekonomi syari’ah dikhawatirkan akan menyimpang dan menyesatkan sehingga melanggar prinsip-prinsip akuntansi substantive over form, karena akuntan hanya bekerja dengan standar tetapi mengabaikan prinsip-prinsip yang syarat dengan nilai-nilai (substantif).

Anda mungkin juga berminat
Comments
Loading...