Pajak Penghasilan (PPh)


  1. Pendahuluan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu jenis pajak subjektif, dimana ketika kita melakukan perhitungan PPh terutang, yang pertama kali diperhatikan adalah kondisi subjektif dari pemikul beban pajak (subjek pajak). Berdasarkan definisi secara teoritis subjek pajak adalah pihak (orang atau badan) yang menjadi sasaran atau dituju oleh undang-undang untuk membayar atau memikul beban pajak.

Undang-undang yang mengatur pajak berkenaan dengan penghasilan adalah undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu pada tahun 1991 (UU Nomor 7 Tahun 1991), tahun 1994 (UU Nomor 10 Tahun 1994), tahun 2000 (UU Nomor 17 Tahun 2000) dan tahun 2008 (UU Nomor 36 Tahun 2008).

Undang-undang Pajak Penghasilan merupakan hukum pajak materiil. Sebagai hukum pajak materiil undang-undang ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya mengatur Subjek Pajak, Objek Pajak, Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak.
  1. Pengertian Subjek Pajak (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 1, Pasal 2 (1))
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak adalah orang yang dituju oleh undang-undang perpajakan untuk dikenakan pajak. Subjek pajak meliputi :
a. Orang pribadi.

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

c. Badan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerahmerupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
  1. Jenis-jenis Objek Pajak Penghasilan (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 (1) & Penjelasan, PP Nomor 94 Tahun 2010)
1. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-Undang PPh :
– Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti ; upah, gaji, premi asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya merupakan objek pajak.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. Laba usaha;
4. Keuntungan penjualan atau pengalihan harta (capital gain), termasuk :
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan jaminan karena pengembalian utang;
7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Premi asuransi yang diterima atau diperoleh perusahaan asuransi dari para peserta asuransi (pemegang polis);
10. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
11. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
12. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
13. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus Bank Indonesia.
  1. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak
Dasar pengenaan dan tarif PPh ditetapkan dengan memperhatikan prinsip keadilan, kemudahan dan disesuaikan dengan karakteristik dari setiap jenis penghasilan. Dasar pengenaan pajak bagi WP yang menghitung sendiri PPh-nya di SPT Tahunan dikenal dengan sebutan Penghasilan Kena Pajak. Dasar pengenaan pajak ini terdapat pada mekanisme pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21(untuk selain pegawai tetap), Pasal 22 dan 23/26.

Sedangkan tarif yang diberlakukan untuk WP orang pribadi dan badan adalah tarif berlapis (progressive rate) sebagaimana Pasal 17 UU PPh. Pemberlakuan tarif berlapis ini sesuai dengn kemampuan ekonomis WP, oleh karena itu, akan kurang tepat apabila yang diberlakukan tarif padan sepadan.
Anda mungkin juga berminat
Comments
Loading...