Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Pengertian BPHTB
BPHTB merupakan pajak pusat yang penerimaannya dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penerimaan Negara khusus dari BPHTB dibagi dengan imbalan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah. Pembagian tersebut diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Psal 12 angka 4 dan angka 5 serta dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pasal 12 angka 4 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa dana bagi hhasil dari pemerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening Kas Umum Daerah Provinsi, dan 64 % (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum kabupaten/kota. Di dalam Pasal 12 angka 5 dijelaskan mengenai bagian 20% (dua puluh persen) dari penerimaan BPHTB untuk Pemerintah Pusat. Hal tersebut juga dijelaskan dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000. Jumlah 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah Pusat tersebut dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada seluruh Kabupaten/Kota.
Bagian penerimaan BPHTB yang diterima oleh daerah merupakan pendapatan daerah, dan setiap tahun anggaran dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Penerimaan BPHTB ini diarahkan untuk pembangunan daerah khususnya untuk perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Kabupaten/Kota.
Pemindahan hak yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merupakan objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan meliputi 13 (tigabelas) jenis perolehan hak, salah satunya perolehan hak karena jual beli.
Perolehan karena jual beli, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh pembeli dari penjual (pemilik tanah dan bangunan atau kuasanya) yang terjadi melalui transaksi jual beli, dimana atas perolehan tersebut pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual. Dalam jual beli, penjual dikenai Pajak Penghasilan (PPh) karena dia memperoleh pedapatan/penghasilan dari jual beli tersebut, sedangkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dikenakan kepada pembeli karena memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan yang menjadi objek jual beli.
Pada umumnya pelaksanaan perolehan hak tersebut dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan terhaap masing-masing perbuatan hukum, yaitu :
a. Jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah dilakukan oleh /PPAT.
b. Penunjukan pembeli pada lelang oleh pejabat lelang.
c. Putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap oleh hukum yang mengadili.
d. Pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak dan diluar pelepasan hak oleh pejabat pemerintah daerah (Gubernur, walikota).
e. Hibah wasiat dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan sebelum meninggal dunia. Jual beli merupakan salah satu cara perolehan hak yang sering terjadi di masyarakat. Perolehan hak karena jual beli, yaitu perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh pembeli dari penjual (pemilik tanah dan bangunan atau kuasanya) yang terjadi melalui transaksi jual beli, dimana atas perolehan tersebut pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual.
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Subjek BPHTB
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.
Objek BPHTB
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi:
a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia;
e. Waris;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
h. Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang;
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hokum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut;
j. Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung;
k. Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badanbadan usaha yang bergabung tersebut;
l. Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama;
m. Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
Objek pajak yang tidak di kenakan BPHTB
a. Objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
d. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Tarif BPHTB
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000, tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen) Dasar pengenaan pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dapat berupa harga transaksi (termasuk harga transaksi dalam Risalah Lelang) dan nilai pasar.
Dasar Pengenaan BPHTB
Sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau UU PDRD, bahwa yang menjadi dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak untuk jual beli adalah harga transaksi. Ketentuan yang menyelaskan bahwa nilai perolehan obyek pajak adalah nilai transaksi inilah yang perlu diadakan perubahan.
Usulan perubahan pasal tersebut yaitu menjadi sebagai berikut : … bahwa yang dimaksud “Nilai Perolehan Obyek Pajak” adalah nilai yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/ kota melalui instansi yang diberi kewenangan untuk itu, dengan ketentuan apabila belum ditetapkan nilai oleh instansi dimaksud, maka nilai perolehan obyek pajak, dengan menggunakan Nilai Obyek Pajak pada Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB) yang tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) pada tahun yang bersangkutan.
Dasar pertimbangan usulan perubahan tersebut, agar terjamin adanya kepastian nilai yang dipergunakan untuk menghitung BPHTB dan dengan sendirinya juga berapa BPHTB yang harus dibayar oleh wajib pajak.Sehingga dari sejak awal wajib pajak dengan mudah dan dapat memastikan berapa BPHTB yang harus dibayar. Dengan adanya perhitungan yang sudah pasti tersebut, maka akan mempermudah dan memberi kepastian wajib pajak dalam membayar BPHTB dan tidak diperlukan lagi validasi yang harus melalui prosedur yang rumit dan memakan waktu, dan dengan sendirinya akan mempermudah dan mempercepat proses pendaftaran tanah lebih lanjut pada Kantor Pertanahan yang berwenang. Sesuai tujuan utama reformasi perpajakan menurut Chaizi Nasucha, adalah untuk mencapai efektifitas yang tinggi, yaitu kemampuan untuk membuat biaya administrasi penerimaan pajak sekecil-kecilnya.
Cara Penghitungan BPHTB
Berkaitan nilai yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan pajak BPHTB, tergantung berapa nilai yang nanti akan dikemukakan berdasarkan pengakuan pihak-pihak dihadapan PPAT yang kemudian dituangkan di dalam akta. Artinya, nilai dasar yang digunakan dalam perhitungan BPHTB tergantung dari kesepakatan para pihak dalam melakukan transaksi.Sehingga kepastian kebenaran nilai transaksi yang dianggap telah disetujui dan menjadi dasar perhitungan BPHTB tergantung dari kejujuran para pihak. Tidak menutup kemungkinan nilai transaksi tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya yang sengaja dilakukan dengan maksud agar pajaknya lebih rendah dari yang sebenarnya.Hal ini tentunya tidak mudah untuk menjamin kapastian bahwa nilai transaksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB itu adalah nilai transaksi yang sebenarnya ataukah tidak. Hal demikian wajar dapat saja terjadi penurunan harga, mengingat pada umumnya para pihak menghendaki pembayaran pajak yang lebih ringan. Pengakuan pihak-pihak inilah yang kemungkinan terjadi penggunaan nilai transaksi yang tidak sebenarnya, dan hal ini adalah suatu kewajaran karena pada umumnya pihak mesti keinginannya membayar pajak bisa lebih ringan.
Berdasarkan ketentuan undang-undang, bahwa yang menjadi dasar perhitungan BPHTB adalah nilai transaksi. Yang menjadi persoalan adalah ketika dihadapan PPAT bisa saja pihak-pihak mengaku bahwa nilai transaksinya tidak sesuai dengan kenyataan, dalam arti lebih rendah dari yang sebenarnya, dengan maksud agar pajak atau BPHTB nya ringan. Dalam hal terjadi demikian, maka pada saat dilakukan validasi ini, ada kemungkinan nilai transaksinya harus dirubah dan disesuaikan dan dengan sendirinya terjadi kurang bayar, karena nilai yang digunakan menghitung BPHTB oleh wajib pajak tidak sesuai menurut penilaian petugas yang berwenang meneliti. Hal inilah yang di rumuskan kedalam penghitungan besarnya BPHTB adalah :
Tata cara penentuan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/PJ/2000 yang mulai berlaku sejak 1 januari 2000, besarnya untuk setiap Kabupaten/Kota diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kantor Wilayah Direktorat Pajak yang waktunya paling lambat 1 bulan sebelum tahun pajak dimulai.
Kantor Wilayah Direktorat Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan NPOPTKP dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah.
Apabila Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan maka besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan perekonomian regional.
NPOPTKP ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. Semula berdasarkan undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, sampai dengan 31 Desember 2000, besarnya NPOPTKP BPHTB ditetapkan secara nasional sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Dengan demikian, besarnya NPOPTKP sama untuk semua daerah (Kota dan Kabupaten) di seluruh Indonesia. Seiring dengan perkembangan perekonomian dan kondisi masingmasing daerah, maka dipandang perlu dilakukan perubahan tentang penetapan NPOPTKP. Pasal 7 Undang-Uundang Nomor 20 Tahun 2000 mengatur bahwa NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Khusus perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pewaris atau pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Ketentuan NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Ketentuan mengenai tata cara penentuan besarnya NPOPTKP BPHTB diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Acuan penghitungan BPHTB
Dalam Pasal 6 Ayat (3) Undang-undang BPHTB menyatakan “ Apabila NPOP sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tdak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.”
Dalam rangka menciptakan suatu sistem perimbangan keuangan yang proporsional, demokratis, adil, dan transparan berdasarkan atas pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka diundangkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang-undang tersebu anatara lain mengatur tentang dana perimbangan yang merupakan aspek penting dalam sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sesuai dengan pengelompokan pajak, BPHTB termasuk pajak tidak langsung karena dikenakan pada saat ketika terdapat suatu peristiwa atau perbuatan seperti penyerahan barang tidak bergerak, pada pembuatan suatu akta diperoleh hak atas tanah dan bangunan tersebut.
Nilai yang Digunakan dalam Perhitungan BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan bagi pihak baik perseorangan maupun badan hukum yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Seseorang atau badan hukum dapat memperoleh hak atas tanah dan bangunan dapat berasal dari beberapa sebab, antara lain karena jual beli, hibah, warisan, tukar menukar dan lain-lain. Jual-beli sebagai salah satu sebab seseorang memperoleh hak atas tanah dan bangunan pada hakekatnya sebagai perbuatan pengalihan hak kepada pihak/orang lain dari penjual kepada pembeli.5 Dengan memperoleh hak atas tanah dan bangunan maka pihak yang memperoleh hak tersebut dikenakan pajak yang disebut Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB, baik diperoleh karena jual beli, hibah, hibah wasiat atau warisan, tukar menukar atau perolehan lainnya yang menjadi obyek BPHTB sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Rangka Pembayaran BPHTB
Pada setiap ketentuan pengenaan atau pembayaran pajak, satu hal yang sangat menentukan untuk dapat dilakukan pembayaran pajak atas suatu objek pajak adalah saat pajak terutang. Pada BPHTB penentuan saat terutang pajak berguna untuk menentukan beberapa hal antara lain:
a. Apakah suatu perolehan hak-hak atas tanah dan bangunan terutang pajak atau tidak.
b. Ketentuan pengenaan pajak dan fasilitas pajak mana yang akan diberlakukan.
c. Penentuan besarnya denda administrasi bila sekiranya berdasarkan pemeriksaan fiskus harus diterbitkan Surat Tagihan BPHTB (STB), Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB), dan Suarat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT).
d. Penentuan batas akhir hak wajib pajak untuk mengajukan keberatan dan pengurangan pajak.
Pejabat yang berwenang dalam pembayaran BPHTB ada beberapa macam. Yang termasuk dalam pengertian pejabat dalam hal ini adalah :
a. Pejabat Pembuat Akta Tanah.
b. Pejabat Lelang Negara
c. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah.
d. Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota.
Konsisten dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, maka PPAT dan pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan Surat keputusan Pemberian Hak atas Tanah (dalam hal ini instansi pertanahan) mempunyai peranan dalam mendukung dan membantu untuk meningkatkan sumber penerimaan Negara di sektor pajak khususnya melalui BPHTB.
Pengelolaan BPHTB
Pengelolaan BPHTB yang semula menjadi pajak pusat dan dikelola oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak dalam lingkungan Kementerian Keuangan, beralih menjadi pajak daerah dan dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten/ kota melalui dinas pendapatan.
Sistem Pemungutan BPHTB
Dalam pemungutan BPHTB pada dasarnya juga didasarkan system self assessment, sehingga pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan sebagai wajib pajak harus menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajaknya. Dengan demikian diperlukan adanya kesadaran dan kejujuran yang tinggi bagi masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya dalam membayar pajak, dan diperlukan peran dari petugas pajak dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak, demikian pula dalam penerimaan dan pengelolaannya.
Dengan demikian dalam system pemungutan BPHTB tidak sepenuhnya menganut sistem self assessment, dalam hal ini sekalipun wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat menghitung,
memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang, ada kemungkinan campur tangan petugas pajak dalam menentukan nilai kewajaran.
Referensi
Adrian Sutedi. 2008. Hukum Pajak dan Retribusi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Murjiyanto, R. dan Ismaya, Samun. 2015. “Kepastian Nilai Dasar Penghitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 22 JULI 2015: 489 – 509.
Anda mungkin juga berminat
Comments
Loading...