Analisis Prediksi Kebangkrutan


Model peramalan kebangkrutan pertama kali dikembangkan oleh Fitz Patrick yang dinamakan model  unvariant. Model ini merupakan pengembangan dari teknik statistik parametik. Dalam model ini  hanya ada satu prediktor. Penelititan lain dikembangkan oleh William Beaver. Beaver mempelajari 29 rasio keuangan yang dibuat lima tahun sebelum perusahaan yang bersangkutan mengalami kebangkrutan sebagai sampel, dengan grup  kontrol yaitu perusahaan yang tidak bangkrut.

Penelitian ini menghasilkan satu rasio keuangan yang dianggap paling baik membedakan karakteristik perusahaan bangkrut dan non bangkrut. Akan tetapi model ini memiliki kelemahan, yaitu penggunaan variabel yang berbeda akan menghasilkan prediksi yang berbeda pula.

Penelitian mengenai analisis laporan keuangan yang menghubungkan antara rasio keuangan dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan ini semakin berkembang, karena analisis tersebut merupakan salah satu hal yang penting dalam membantu perusahaan untuk mengetahui sejauh mana kondisi perusahaan untuk sekarang ini maupun kondisi perusahaan yang akan datang.  

Salah satu teknik dalam menganalisis laporan keuangan dengan menggunakan rasio keuangan dalam memprediksi  kebangkrutan yaitu dengan menggunakan model Altman Z-Score, seorang ekonom keuangan. Model Altman merupakan salah satu analisis keuangan yang telah banyak digunakan di Amerika Serikat yang merupakan pengembangan dari analisis multidiskriminan yang menggabungkan efek beberapa variabel dalam modelnya. Model ini merupakan salah satu model peramalan kebangkrutan yang terbukti memberikan banyak manfaat.

Edward I. Altman (1968) telah menemukan suatu metode yang menggunakan Z-Score model untuk mendeteksi dan memprediksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada suatu perusahaan.
Z-Score model adalah sebuah analisis linear yang merupakan dari Multiple Discriminant Analysis (MDA). MDA adalah suatu teknik statistik yang digunakan untuk mengklasifikasikan sebuah observasi ke dalam salah satu dari  apriori groupings menurut karakteristik individual dari observasi tersebut. MDA terutama dipergunakan dalam mengklasifikasikan dan atau membuat peramalan pada masalah-masalah dimana variabel dependent berbentuk kualitatif.

Fungsi diskriminan dari bentuk Z = V1X1 + V2X2 + …. VnXn mengubah nilai variabel individu menjadi sebuah nilai diskriminan tunggal (Single discriminant score)  atau nilai Z, yang kemudian digunakan untuk mengklasifikasikan objek dimana  V1, V2, …., Vn adalah koefisien diskriminan sedangkan X1, X2,…., Xn  adalah variabel independent.

Melalui penelitian lebih lanjut maka ditetapkan lima buah variabel atau rasio yang digunakan dalam analisis Z-Score model, yaitu Liquidity Ratio (X1 ), Age of Firm and Cumulative Profitability Ratio (X2), Profitability Ratio(X3), Financial Structure Ratio(X4 ),and Capital Turnover Ratio(X5).  Rasio-rasio ini dipilih berdasarkan basis popularitas dan literatur dan tingkat relevansi potensial rasio tersebut terhadap penelitian ini. Pada akhirnya, dihasilkanlah suatu fungsi diskriminan akhir yaitu :
Z = 0.012 X1  + 0.014 X2  + 0.033 X3  + 0.006 X4  + 0.999 X5
Atau yang lebih sering digunakan adalah :
Z = 1.2 X1  + 1.4 X2  + 3.3 X3  + 0.6 X4  + 1.0 X5
Dimana:
X1= Working Capital / Total Assets
X2  = Retained Earnings / Total Assets
X3  = EBIT / Total Assets
X4  = Market Value Equity / Book Value of Total Liabilities
X5  = Sales / Total Assets
Dengan :
Z-Score                       Indikasi
< 1.81                          Bangkrut
1.81 – 2.99                  Grey Area / zone of ignorace
> 2.99                          Tidak Bangkrut
Semakin kecil Z-Score suatu perusahaan, maka semakin besar potensi perusahaan tersebut untuk mengalami kebangkrutan. Nilai Z 2.675 ditetapkan sebagai titik kritis atau cut-off point yang memisahkan antara perusahaan bangkrut dengan yang tidak bangkrut. Nilai  Z yang berada diantara 1.81 sampai dengan 2.99 ditetapkan sebagai  grey area  atau  zone of ignorance akibat adanya aspek klasifikasi kesalahan yang mudah terpengaruh (subsceptibility to error classification). Perusahaan yang memiliki nilai Z pada zone of ignorance ini tidak dengan pasti diprediksi kemungkinan kebangkrutannya. Sedangkan  Z-Score yang lebih kecil daripada 1.81 dapat diprediksi terjadi kebangkrutan lebih besar, sedangkan nilai Z 2.99 dapat diprediksi bahwa perusahaan berada di titik aman.

Dengan menerapkan fungsi diskriminan tersebut diatas, dengan menggunakan data 2 sampai 5 tahun menjelang kebangkrutan, Altman melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa ketepatan prediksi kebangkrutan bisa mencapai hingga 95% setahun sebelum kebangkrutan, tingkat keakuratan turun menjadi 72% dalam 2 tahun sebelum bangkrut, 48% untuk periode 3 tahun sebelum bangkrut, 29% untuk periode 4 tahun sebelum bangkrut,  36% untuk periode 5 tahun sebelum bangkrut. Analisa trend yang dilakukan  menunjukkan bahwa rasio-rasio yang diamati (X1 sampai  X5) terus memburuk pada tahun-tahun menjelang kebangkrutan, terutama antara tahun  ke-3 dan tahun  ke-2 menjelang kebangkrutan.

Informasi mengenai perusahaan berada diposisi mana dan apakah perusahaan masih tergolong sehat atau tidaknya sangat dibutuhkan oleh manajer atau pelaku bisnis untuk dapat menentukan tindakan apa atau keputusan apa yang harus dilakukan dalam memperbaiki dan mempertahankan perusahaannya agar perusahaan tersebut dapat  bertahan. Jika metode analisis Z-Score Altman ini terbukti dapat diterapkan diperusahaan-perusahaan khususnya di Indonesia, maka bukan tidak mungkin tingkat kebangkrutan perusahaan di Indonesia dapat diminimalkan, karena jauh hari sebelum perusahaan tersebut akan terjerumus ke dalam keadaan bangkrut, kejadian tersebut telah dapat diprediksi sebelumnya, dan langkah-langkah yang tepat dapat diambil oleh pihak yang berkepentingan untuk mengantisipasi kemungkinan kebangkrutan yang telah menanti perusahaan.


Anda mungkin juga berminat
Comments
Loading...