KONSEP TAXABLE DAN DEDUCTIBLE

KONSEP TAXABLE DAN DEDUCTIBLE

Konsep taxable dan deductible adalah konsep penting dalam dunia perpajakan di Indonesia. Mari kita bahas:

Taxable (Dapat Dikena Pajak)

Penghasilan taxable adalah penghasilan yang termasuk objek pajak dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh). Atas penghasilan taxable, wajib pajak terutang pajak yang harus dibayar ke negara.

Deductible (Dapat Dikurangi)

Biaya deductible adalah biaya-biaya yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto. Pengurangan biaya ini akan mengurangi penghasilan kena pajak, sehingga pada akhirnya bisa mengurangi jumlah pajak terutang.

Konsep taxable dan deductible ini berkaitan erat dengan penetapan penghasilan neto yang menjadi dasar penghitungan pajak terutang. Semakin besar biaya deductible yang bisa dikurangkan, maka semakin rendah penghasilan neto dan potensinya bisa mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

Hal yang Perlu Diingat

  • Tidak semua penghasilan termasuk taxable. Ada jenis penghasilan tertentu yang non-taxable (tidak dikenakan pajak).
  • Tidak semua pengeluaran bisa dijadikan biaya deductible. Ada aturan khusus yang menentukan jenis biaya apa saja yang bisa dikurangkan.
  • Aturan mengenai taxable dan deductible bisa berubah tergantung pada jenis wajib pajak dan peraturan perpajakan yang berlaku.
Secara umum dikenal konsep Taxable – Deductible atau Non taxable – Non Deductible. Taxable biasanya ditujukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang atau badan tanpa melihat dari mana penghasilan tersebut diperoleh (sumber penghasilan). Deductible adalah biaya yang diakui oleh pajak, biasanya ditujukan kepada beban / biaya yang menurut ketentuan menjadi pengurang penghasilan Bruto sebagai mana diatur dalam Pasal 6 UU PPh.
Pada umumnya jika suatu biaya yang terkait dengan karyawan akan terutang PPh 21 jika biayanya diakui misalnya biaya gaji, tunjangan bonus dan sebagainya. Jika pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiscal (Non deductible) sehingga bagi karyawan yang menerima bukan merupakan penghasilan (Non Taxable).
Apakah Non deductible bisa menjadi deductible jika Non Taxable menjadi Taxable misalnya dengan membayar PPh 21 atas biaya Non Deductible akan menyebabkan otomatis biaya tersebut menjadi Deductible? Tidak selalu. Harus hati – hati jangan sampai sudah membayar PPh 21 ternyata biaya tersebut tetap Non deductible WP bisa rugi dua kali.
Terdapat beberapa penyimpangan konsep Taxable – Deductible atau Non taxable – Non Deductible karena adanya ketentuan khusus yang mengaturnya. Bentuk penyimpangan tersebut bisa berupa Taxable – Non Deductible atau Non Taxable – Deductible. Hal ini terkadang menyulitkan WP karena hal ini akan menyebabkan perbedaan objek pajak yang dilaporkan dalam SPT PPh 21 tahunan dengan SPT badan pos biaya karyawan.
Pembayaran imbalan kepada karyawan yang harus mendapatkan perhatian ketika melakukan rekonsiliasi antara SPT PPh 21 dan PPh 29 adalah sebagai berikut :
                Premi asuransi yang dibayarkan Pemberi Kerja.
                Iuran Pensiun, JHT atau THT ditanggung Pemberi Kerja.
                Bonus, Gratifikasi dan Jasa Produksi yang dananya dari Laba Yang Ditahan
                Imbalan berupa Tantiem
                Biaya Perjalanan Dinas
                Beban Pendidikan dan Pelatihan
                Biaya Perbaikan dan Pemeliharaan
                Pemberian Natura dan Kenikmatan.
                Pembayaran Imbalan dalam Mata Uang Asing

Manfaat Memahami Konsep Taxable dan Deductible:

  • Membantu Wajib Pajak dalam Menghitung Pajak Terutang dengan Tepat: Dengan memahami konsep ini, wajib pajak dapat mengetahui dengan jelas mana saja penghasilan yang termasuk taxable dan biaya apa saja yang bisa dikurangkan sebagai biaya deductible. Hal ini penting untuk memastikan bahwa wajib pajak menghitung dan membayar pajak dengan tepat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  • Membantu Wajib Pajak dalam Melakukan Perencanaan Pajak yang Efektif: Dengan memahami konsep ini, wajib pajak dapat menyusun strategi perencanaan pajak yang efektif untuk meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan. Misalnya, dengan mencari peluang untuk meningkatkan biaya deductible atau memanfaatkan fasilitas perpajakan yang tersedia.
  • Membantu Wajib Pajak dalam Menghindari Sanksi Perpajakan: Ketidakpatuhan dalam menghitung dan membayar pajak dapat mengakibatkan sanksi perpajakan. Memahami konsep taxable dan deductible dapat membantu wajib pajak untuk menghindari sanksi tersebut.

Contoh Penerapan Konsep Taxable dan Deductible:

Kasus 1:

Sebuah perusahaan memiliki penghasilan bruto Rp100.000.000,- dan biaya deductible sebesar Rp20.000.000,-. Penghasilan kena pajak perusahaan tersebut adalah:

Penghasilan kena pajak = Penghasilan bruto - Biaya deductible 

= Rp100.000.000,- - Rp20.000.000,- = Rp80.000.000,-

Kasus 2:

Seorang karyawan menerima gaji Rp5.000.000,- per bulan dan memiliki biaya transportasi Rp1.000.000,- per bulan untuk keperluan pekerjaan. Gaji yang diterima karyawan tersebut termasuk taxable, sedangkan biaya transportasi dapat dikurangkan sebagai biaya deductible. Penghasilan neto karyawan tersebut adalah:

Penghasilan neto = Gaji bruto - Biaya deductible 

= Rp5.000.000,- - Rp1.000.000,- = Rp4.000.000,-

Konsep taxable dan deductible merupakan konsep penting dalam perpajakan yang perlu dipahami oleh setiap wajib pajak. Memahami konsep ini dapat memberikan banyak manfaat bagi wajib pajak, seperti membantu dalam menghitung pajak terutang dengan tepat, melakukan perencanaan pajak yang efektif, dan menghindari sanksi perpajakan.

Untuk mengetahui apakah suatu penghasilan termasuk taxable atau non-taxable, Anda perlu mengacu pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan peraturan perpajakan yang berlaku.

Secara umum, penghasilan yang termasuk taxable adalah:

  • Penghasilan dari pekerjaan: Gaji, upah, honorarium, bonus, tunjangan, dan lain-lain yang diterima dari pekerjaan.
  • Penghasilan dari usaha: Laba yang diperoleh dari usaha dagang, jasa, atau profesi.
  • Penghasilan dari investasi: Bunga, dividen, royalti, dan lain-lain yang diperoleh dari investasi.
  • Penghasilan dari sewa: Pendapatan yang diperoleh dari menyewakan harta benda.
  • Penghasilan lain-lain: Penghasilan yang tidak termasuk dalam kategori di atas, seperti hadiah, warisan, dan lain-lain.

Sedangkan, penghasilan yang termasuk non-taxable adalah:

  • Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak: Penghasilan tertentu yang secara tegas dikecualikan dari objek pajak PPh dalam UU PPh dan peraturan perpajakan.
  • Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak: Penghasilan yang secara substansi tidak termasuk dalam ruang lingkup objek pajak PPh.

Berikut beberapa contoh penghasilan yang non-taxable:

  • Bantuan sosial dan santunan: Bantuan sosial dan santunan yang diterima dari pemerintah, lembaga sosial, atau pihak lain yang bersifat cuma-cuma.
  • Hasil penjualan harta pribadi: Hasil penjualan harta pribadi yang bukan merupakan bagian dari usaha atau investasi.
  • Hadiah dari keluarga atau kerabat dekat: Hadiah yang diterima dari keluarga atau kerabat dekat dalam jumlah yang wajar.
  • Penghasilan dari asuransi jiwa: Uang santunan atau manfaat lain yang diterima dari polis asuransi jiwa.

Jenis-jenis Biaya yang Termasuk Deductible dan Non-Deductible

Biaya deductible adalah biaya-biaya yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak. Pengurangan biaya ini dapat mengurangi jumlah pajak terutang.

Jenis-jenis biaya deductible secara umum:

  • Biaya yang berhubungan langsung dengan usaha atau pekerjaan:
    • Gaji, upah, dan honorarium karyawan
    • Biaya sewa tempat usaha
    • Biaya penyusutan aset yang digunakan untuk usaha
    • Biaya iklan dan promosi
    • Biaya beban bunga
    • Biaya perjalanan dinas
    • Biaya makan minum dan representasi
    • Biaya pajak penghasilan badan (PPh Badan) yang dipotong dari penghasilan karyawan
  • Biaya terkait dengan investasi:
    • Biaya yang berhubungan dengan pembelian dan pengelolaan aset investasi, seperti biaya notaris, biaya perantara, dan biaya pemeliharaan.
    • Biaya penyusutan aset investasi.
  • Biaya lainnya:
    • Biaya asuransi yang berhubungan dengan usaha atau pekerjaan.
    • Biaya iuran pensiun.
    • Biaya donasi untuk kegiatan sosial dan keagamaan.

Penting untuk dicatat bahwa:

  • Tidak semua biaya yang berhubungan dengan usaha atau pekerjaan secara otomatis dapat dikurangkan sebagai biaya deductible.
  • Ada aturan dan ketentuan khusus yang mengatur jenis-jenis biaya apa saja yang dapat dikurangkan.
  • Aturan dan ketentuan ini dapat berbeda-beda tergantung pada jenis usaha atau pekerjaan, dan juga tergantung pada peraturan perpajakan yang berlaku.

Jenis-jenis biaya yang tidak deductible secara umum:

  • Biaya pribadi:
    • Biaya hidup sehari-hari, seperti biaya makan, biaya transportasi, dan biaya pendidikan.
    • Biaya pembelian barang-barang pribadi.
    • Biaya hiburan dan rekreasi.
  • Biaya yang tidak berhubungan dengan usaha atau pekerjaan:
    • Biaya denda dan sanksi.
    • Biaya sumbangan politik.
    • Biaya yang dibayarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham atau anggota koperasi.
  • Biaya yang dilarang oleh undang-undang:
    • Biaya suap dan gratifikasi.
    • Biaya pengeluaran fiktif.

Cara Menghitung Biaya Deductible

Langkah-langkah menghitung biaya deductible yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto:

1. Identifikasi jenis-jenis biaya yang Anda keluarkan.

  • Pisahkan biaya yang berhubungan dengan usaha atau pekerjaan dari biaya pribadi.
  • Klasifikasikan biaya-biaya tersebut berdasarkan jenisnya, seperti biaya gaji, biaya sewa, biaya penyusutan, dan lain-lain.

2. Pastikan biaya tersebut memenuhi syarat sebagai biaya deductible.

  • Periksa kembali aturan dan ketentuan yang berlaku untuk jenis-jenis biaya yang Anda keluarkan.
  • Pastikan biaya tersebut berhubungan langsung dengan usaha atau pekerjaan, dan bukan merupakan biaya pribadi.
  • Simpan bukti-bukti yang sah atas semua biaya yang Anda keluarkan.

3. Hitung jumlah masing-masing jenis biaya.

  • Jumlahkan semua biaya dalam satu kategori untuk mendapatkan total biaya deductible untuk kategori tersebut.
  • Lakukan hal yang sama untuk semua kategori biaya.

4. Jumlahkan total biaya deductible dari semua kategori.

  • Hasil penjumlahan ini adalah total biaya deductible yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Contoh:

Sebuah perusahaan memiliki biaya-biaya berikut:

  • Gaji karyawan: Rp100.000.000,-
  • Sewa tempat usaha: Rp20.000.000,-
  • Penyusutan aset: Rp15.000.000,-
  • Biaya iklan: Rp10.000.000,-
  • Biaya makan minum dan representasi: Rp5.000.000,-

Total biaya deductible:

  • Gaji karyawan: Rp100.000.000,-
  • Sewa tempat usaha: Rp20.000.000,-
  • Penyusutan aset: Rp15.000.000,-
  • Biaya iklan: Rp10.000.000,-
  • Biaya makan minum dan representasi: Rp5.000.000,- Total: Rp150.000.000,-

Penghasilan kena pajak:

Penghasilan bruto – Total biaya deductible = Penghasilan kena pajak

Rp100.000.000,- – Rp150.000.000,- = Rp(-50.000.000,-)

Catatan:

  • Dalam contoh ini, perusahaan mengalami kerugian karena total biaya deductible lebih besar dari penghasilan bruto.
  • Hal ini dapat terjadi pada perusahaan yang baru memulai usaha atau pada perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan.
  • Kerugian ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto di tahun-tahun berikutnya.

Strategi Perpajakan dengan Konsep Taxable dan Deductible

Ada beberapa strategi perpajakan yang dapat memanfaatkan konsep taxable dan deductible untuk meminimalkan beban pajak. Berikut beberapa contohnya:

1. Memaksimalkan Biaya Deductible

  • Cari peluang untuk meningkatkan biaya deductible yang sah.
    • Contohnya, dengan memberikan tunjangan makan dan transportasi kepada karyawan, melakukan donasi untuk kegiatan sosial dan keagamaan, dan menggunakan aset perusahaan untuk keperluan pribadi dengan kewajaran.
  • Gunakan metode penyusutan yang tepat untuk aset perusahaan.
    • Metode penyusutan yang berbeda akan menghasilkan jumlah biaya penyusutan yang berbeda pula.
  • Kelola inventaris barang dengan baik.
    • Hindari penumpukan barang persediaan yang berlebihan, karena hal ini dapat meningkatkan beban pajak.

2. Menunda Pengakuan Penghasilan

  • Terapkan sistem akuntansi accrual basis.
    • Sistem ini memungkinkan penundaan pengakuan pendapatan hingga periode akuntansi berikutnya.
  • Manfaatkan fasilitas pembebasan pajak.
    • Contohnya, dengan memanfaatkan fasilitas tax holiday atau tax break untuk sektor-sektor tertentu.

3. Memanfaatkan Fasilitas Perpajakan

  • Gunakan fasilitas PPh Final.
    • Fasilitas ini memungkinkan pengusaha untuk membayar pajak secara final atas penghasilannya dengan tarif yang lebih rendah.
  • Manfaatkan fasilitas tax amnesty.
    • Fasilitas ini memungkinkan wajib pajak untuk melaporkan harta yang belum dilaporkan sebelumnya dengan tarif pajak yang lebih rendah.

4. Melakukan Perencanaan Pajak yang Efektif

  • Lakukan analisis perpajakan secara berkala.
    • Analisis ini dapat membantu Anda untuk mengetahui potensi penghematan pajak yang dapat dilakukan.
  • Konsultasikan dengan konsultan pajak profesional.
    • Konsultan pajak dapat membantu Anda dalam menyusun strategi perpajakan yang efektif dan sesuai dengan kondisi usaha Anda.

Penting untuk dicatat bahwa:

  • Strategi perpajakan yang efektif harus dilakukan dengan tetap mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku.
  • Hindari melakukan praktik perpajakan yang tidak sah, karena hal ini dapat mengakibatkan sanksi yang berat.

Sanksi bagi Wajib Pajak yang Tidak Patuh dalam Menghitung dan Membayar Pajak Terkait Konsep Taxable dan Deductible

Wajib pajak yang tidak patuh dalam menghitung dan membayar pajak terkait konsep taxable dan deductible dapat dikenakan sanksi administrasi dan pidana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan peraturan perpajakan yang berlaku.

Sanksi administrasi yang dapat dikenakan antara lain:

  • Denda: Denda dapat dikenakan atas keterlambatan dalam melaporkan SPT, keterlambatan dalam membayar pajak, dan kegagalan dalam menyampaikan bukti-bukti yang diperlukan.
  • Kenaikan pajak: Pajak terutang dapat dinaikkan dengan persentase tertentu atas keterlambatan dalam membayar pajak.
  • Penyegelan tempat usaha: Tempat usaha wajib pajak dapat disegel jika wajib pajak tidak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
  • Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP): STP dapat diterbitkan kepada wajib pajak yang belum melunasi pajak terutangnya.

Sanksi pidana yang dapat dikenakan antara lain:

  • Kurungan penjara: Wajib pajak dapat dipidana dengan kurungan penjara selama 1 hingga 6 bulan jika dengan sengaja menyampaikan SPT yang tidak benar atau tidak lengkap.
  • Denda: Denda dapat dikenakan atas kegagalan dalam menyampaikan SPT, keterlambatan dalam membayar pajak, dan kegagalan dalam menyampaikan bukti-bukti yang diperlukan.

Contoh kasus:

Sebuah perusahaan tidak melaporkan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) selama 3 bulan berturut-turut. Atas hal ini, perusahaan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan kenaikan pajak. Jika perusahaan tersebut masih tidak patuh, maka tempat usahanya dapat disegel.

Penting untuk dicatat bahwa:

  • Sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak akan disesuaikan dengan tingkat kesalahannya dan nilai pajak yang tidak dibayarkan.
  • Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan penyidikan terhadap wajib pajak yang diduga tidak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
  • Wajib pajak yang dikenakan sanksi dapat mengajukan keberatan atau banding ke Pengadilan Pajak.
Anda mungkin juga berminat
Comments
Loading...